PALANGKA RAYA - Upaya untuk meletakkan tata kelola yang baik (good governance) dalam pembangunan di Indonesia pada dasarnya bukan merupakan hal yang baru. Semenjak bergulirnya reformasi, upaya transformasi dari pemerintahan yang tertutup menjadi pemerintahan yang terbuka (Good Governance) mulai dilakukan. Munculnya Tap MPR No.9 tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam menjadi salah satu bentuk dari upaya transformasi tersebut.
Hendra Jaya Pratama, Ketua DPD Jaringan Organisasi Masyarakat Nusantara (Joman) Provinsi Kalimantan Tengah, mengulas tentang upaya kehutanan dan tata kelolanya sesuai peruntukannya dan masyarakat sekitar.
Baca juga:
Deklarasi Cisadane Bebas Sampah 2045
|
Dan khususnya untuk wilayah konsensi pengelolaan kehutanan yang dilakukan salah satu Hak Pengelolaan Hutan (HPH) PT Dwima Jaya Utama Group, yang memiliki wilayah konsensi di Kabupaten Katingan dan Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
"Hak Pengelolaan Hutan tentunya dibarengi dengan komitmen untuk melaksanakan nya, bukan hanya memiliki izin lalu dilantarkan, sehingga menghambat sistim pengelolaan yang diharapkan, " kata Ketua Joman Kalteng.
Pada tahun 1999 pemerintah (cq.Departemen Kehutanan) melakukan revisi atas Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan menjadi Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Revisi tersebut membuka peluang untuk dilakukannya tata kelola kehutanan yang baik di Indonesia. Akses informasi kepada masyarakat diberi landasan hukum yakni pada pasal 68 (2) poin b yang menyatakan bahwa masyarakat dapat: “Mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan”
Peluang masyarakat untuk berpartisipasi juga lebih terbuka melalui pengaturan dalam pasal 70 (3) yang menyatakan bahwa: “Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat pemerintah dan pemerintah daerah dapat dibantu oleh forum pemerhati kehutanan.” Dalam konteks ini, proses untuk menuju sebuah tata kelola kehutanan yang baik sudah mulai mendapatkan tempat dalam peraturan perundang-undangan.
"Inilah yang diharapkan oleh pemerintah tentang tata kelola kehutanan, sampai saat ini banyak hal pengelolaan yang ditelantarkan, hanya memiliki izin saja tapi sistim kelolaannya ditelantarkan, " ungkap Hendra ini kembali.
Namun sangat disayangkan bahwa implementasi dari ketentuan tersebut seringkali menjadi sebuah proses birokrasi yang sulit. Salah satu tantangan yang sangat kompleks dalam konteks kehutanan adalah mengenai kepastian lahan dan wilayah kelola masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan.
Seharusnya, dengan sebuah sistem informasi kehutanan yang mapan dan partisipasi penuh dari segenap masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan, tantangan mengenai kepastian lahan dan wilayah kelola dapat diselesaikan.
Namun ternyata permasalahannya lebih dari itu, karena pada saat penyusunan peraturan perundang-undangan kehutanan masih terdapat kepentingan sektoral yang membatasi ruang gerak masyarakat dalam mendapatkan keadilan.
Sebenarnya Undang-Undang No.41 tahun 1999 memberikan ruang agar pengelolaan hutan dilakukan secara transparan dan inklusif. Namun faktanya status hutan sudah ditentukan dalam pasal 5 (1) menjadi hanya dua status yaitu hutan hak dan hutan negara. Posisi masyarakat adat dan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan menjadi tidak memiliki ruang gerak yang cukup karena kedudukan mereka dalam hutan menjadi tidak jelas.
Ketika kembali melihat kepada definisi bahwa pembangunan berkelanjutan adalah sebuah proses, maka sudah seharusnya bila dalam penentuan status hutan masyarakat dilibatkan sebagai sebuah proses keterlibatan seluruh pemangku kepentingan. Namun hal tersebut tidak terjadi, dan pada akhirnya masyarakat adat dan lokal menjadi tidak berdaya walaupun tinggal dan hidup di antara sumber daya tersebut.
Seperti dikatakan Owner HPH PT Dwima Jaya Utama Group, Anton Gunadi; "Kami Tidak Pernah Menindas Mayarakat serta Meminta Masyarakat Jangan mudah terporvokasi oleh isu tidak jelas dan Memohon Kepada masyarakat yg tergabung dalam Pengusaha Putra Daerah khusus industri Kayu olahan maupun Pengurus Koperasi Agar Bisa Tertib Admitrasi dalam pengajuan permintaan Kayu LOG untuk memenuhi kebutuhan industri kayu olahan lokal".
"Joman Kalteng, menilai HPH PT Dwima Jaya Utama Group, menjadi contoh tata kelola kehutanan yang baik sesuai yang diamanatkan pemerintah, pemberdayaan dimasyarakat sekitar bisa dibuktikan, " tegas Hendra Jaya Utama ini kembali.